Tuesday, 2 April 2013

BUDAYA TAWURAN




Akhir-akhir ini, ungkapan tentang budaya tawuran sudah terbalik, jika ada tukang becak berkelahi, orang mengatakan: ”kayak mahasiswa saja”, untuk menggambarkan bahwa zaman sudah berubah, mahasiswa lebih sering berkelahi (plus tawuran) dibanding tukang becak. Memang, dulu kalaupun ada tukang becak yang berkelahi, sangatlah jarang atau bahkan tidak pernah berlanjut menjadi ”tawuran antar tukang becak”. Ungkapan ”kayak mahasiswa saja” dalam konteks di atas tentu sangat ironis jika dikaitkan dengan posisi mahasiswa yang ’katanya’ adalah kalangan intelektual dan memiliki idealisme yang tinggi. Dalam konteks sebagai manusia, mahasiswa dan tukang becak tidak ada bedanya, pekerjaan menjadi tukang becak sangatlah mulia, demikian halnya mahasiswa.
Selain tidak berpijak pada tugas dan fungsi mahasiswa sebagai agen of change dan agen of control. Mereka (pendemo) juga berusaha menutup kampus dengan alasan supaya banyak yang ikut demonstrasi dan menginginkan adanya solidaritas dari mahasiswa lain. Solidaritas harusnya lahir dari hati nurani masing-masing, bukan dipaksakan. Jika solidaritas itu tidak spontan muncul ketika ada isu bersama terutama yang bersifat eksternal --- misalkan yang terkait kebijakan penguasa --- itu dapat terjadi antara lain karena gerakan mahasiswa gagal membangun soliditas internal mereka. Seharusnya ini menjadi masalah bersama dan menjadi bahan refleksi bagi gerakan mahasiswa untuk membangun kekuatan dan soliditas internal tersebut agar solidaritas mudah bangkit di kalangan mereka.
Tawuran mahasiswa hanya akan mempertegas rendahnya soliditas di antara mereka. Kesan intelektual yang ”mengutamakan otot daripada otak” akan muncul. Padahal, sejarah Indonesia mencatat bahwa solidaritas dan soliditas yang tumbuh dalam gerakan mahasiswa telah berhasil meruntuhkan dua ’tembok raksasa’ dari rezim diktator yang berbeda, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Namun, jika tawuran terjadi di antara mereka, akan memunculkan pertanyaan: Bagaimana mereka dapat ’mengurusi’ masalah eksternal jika ’urusan’ internal mereka tidak pernah selesai? Atau, apakah memang gerakan mahasiswa saat ini sudah kehilangan ruh sehingga mereka sibuk mengobok-obok diri sendiri? Bagaimanapun, tawuran antar mahasiswa (termasuk penutupan kampus) pasti sangat mengganggu proses ’pemanusiaan’ yang sedang berlangsung, dan juga citra kampus sebagai markas intelektual akan ternodai.

referensi : haluankepri.com/

No comments:

Post a Comment